BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Pertumbuhan
ekonomi yang berkembang dengan pesat membuat sistem perdagangan,
perindustrian, ikut pula maju dengan pesat, baik dalam hubungan nasional maupun
hubungan internasional. Hal ini sering menjadi pemicu timbulnya sengketa
diantara para pihak pelaku usaha dan bisnis, yang mengharuskan para
pihak untuk menyelesaikannya baik melalui jalur pengadilan maupun jalur
diluar pengadilan, sehingga diharapkan tidak menggangu iklim bisnis
antara pihak yang bersengketa.
Maka Alternatif
Penyelesaian Sengketa memberikan kemudahan dengan proses yang cepat, murah
dan diselesaikan sebaik-baiknya, melalui Arbitrase, Negosiasi, Mediasi,
dan Konsiliasi. Di dalam makalah ini, saya mengambil salah satu contoh
penyelesaian sengketa yaitu Arbitrase. Pengertian arbitrase menurut UU No.30
tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Sedangkan
definisi perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase
berdasarkan akta compromittendo dan akta kompromis. Di Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang tercantum dalam pasal 1320 sebagai syarat sahnya
suatu perjanjian adalah : sepakat,cakap, hal, tertentu, sebab yang halal.
Dalam Pasal 5
Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa ”Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di
bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.” Dengan demikian
arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum
keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan.
Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna
menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak
perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga
arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan
tersebut akanmenjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang
dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang
berlawananterhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran
terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu
tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan
Arbitrase bersifat mandiri,final dan mengikat (seperti putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap)sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun permasalahan yang timbul dari latar belakang
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa
sebenarnya defenisi dari arbitrase?
2. Bagaimana
sejarah arbitrase?
3. Apa saja
objek dari arbitrase?
4. Apa saja
jenis dari arbitrase?
5. Bagaimana
dengan keunggulan
dan kelemahan
dari arbitrase?
6. Apa kaitan
arbitarase dengan pengadilan?
7. Dan
bagaimana pelaksanaan putusan dari arbitarase?
8. Apa
contoh kasus arbitrase dan bagaimana analisisnya?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui
tentang arbitrase, defenisi, sejarah, objek, jenis arbitarase,kelemahan dan
kelebihan dari arbitrase, kaitan dengan pengadilan dan pelaksanaan dari
putusan arbitrase tersebut.
2. Mengetahui
kasus dan dapat mengidentifikasi kasus arbitrase.
3. Dapat
dengan handal mengidentifikasi kasus-kasus dunia bisnis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Arbitrase
Kata “arbitrase”
berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan
sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan
atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau
schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan
sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase
adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum yang
didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Dimana pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para
pihak yang bersangkutan yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan
dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana akan memeriksa dan memberi
putusan terhadap sengketa tersebut.
Arbitrase di Indonesia dikenal dengan
“perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1950,
yang mengatur tentang
acara dalam
tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk
mengatasi sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah,
perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara
terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini
walaupun pada akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Subekti
menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak
akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yangmereka
pilih.
H. Priyatna
Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan
suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang
bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan
oleh para pihak.
H.M.N.
Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan
sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat
agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya
diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para
pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi keduabelah pihak.
Pada dasarnya
arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan
Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement)
menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase
menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut.Dalam
arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah
arbitrase,sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang
ditangani.
Menurut Black's
Law Dictionary: "Arbitration. an
arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some
disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice,
and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of
ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1Undang Undang Nomor 30
tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud
dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de
compromitendo)
2. Suatu
perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta
Kompromis)
Sebelum UU
Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen
Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang
No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan
bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
2.1.2 Sejarah Arbitrase di Indonesia
Keberadaan
arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah
lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di
Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op deRechtsvordering (RV) dan
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement
Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal615 s/d 651
reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang inisudah
tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.
Dalam
Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan
Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang
antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan
arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau
perintah untuk
dieksekusi dari Pengadilan.
2.1.3 Objek Arbitrase
Objek perjanjian
arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga
arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5
ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Adapun kegiatan
dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2)
UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana
diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.
2.1.4 Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat
berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc
dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan
arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada
umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan
penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh
para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul
arbitrase.
Arbitrase
institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti TheRules of
Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration
Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di
Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase
sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua
sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan
diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan- peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat
kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat
pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase
UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai
berikut:
"Setiap
sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan
perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjianakan
diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk,
yaitu:
1. Factum
de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2. Akta
Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.
Menurut Priyatna
Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul
arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan
apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan
bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa
timbul.
2.1.5 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan
arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 30 tahun
1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
·
Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin
;
·
Keterlambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif dapat dihindari;
·
Para pihak dapat memilih arbiter yang
berpengalaman, memiliki
latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil;
·
Para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk penyelesaian masalahnya, para pihak dapat memilih tempat
penyelenggaraan arbitrase ;
·
Putusan arbitrase merupakan putusan yang
mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung
dilaksanakan.
Para ahli juga
mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof.
Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase
atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan
cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto
mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1. Penyelesaian
sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2. Para
wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan
mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3. Putusan
akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan
peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahuitentang
kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada
putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping
keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki
kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah
masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase,
padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.
Meskipun
penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan
dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga
memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah :
a.
Arbitrase belum dikenal secara luas,
baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis
sendiri. Sebaga icontoh masyarakat
masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari
lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI.
b.
Masyarakat belum menaruh kepercayaan
yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga
Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan
diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
c.
Lembaga Arbitrase dan ADR tidak
mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
d.
Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil
penyelesaian yang
dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari
dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan
pembatalan dan sebagainya.
e.
Kurangnya para pihak memegang etika
bisnis. Sebagai suatu mekanis meextra judicial,
Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan
kewajaran.
f.
2.1.6 Hubungan Arbitrase dengan Pengadilan
Lembaga
arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase
tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusannya.
Peranan
pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain
mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para
pihak tidak ada kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang
harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu
pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase
internasional mengambil
tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
2.1.7 Pelaksanaan Arbitrase
a.
Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan
putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada
dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan
arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh
arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional
tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum
memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional).
Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
b.
Putusan Arbitrase Internasional
Semula
pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta
konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia.
Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958.
Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase
asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya
kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
2.1.8 Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian
arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa
terjadi peristiwa-peristiwa, Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
1.
Salah satu dari pihak yang bersengketa
mengalami kebangkrutan, inovasi (pembaharuan
utang), dan insolvensi;
2.
Pewarisan;
3.
Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
4.
Pelaksanaan perjanjian arbitrase
dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut;
5.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian
pokok;
2.2 Analisis Kasus
2.2.1 Kasus Arbitrase di Indonesia
Temasek Bisa Bawa Kasus Kepemilikan Silang ke
Arbitrase Internasional
Jika Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan Temasek terbukti melakukan
praktek kepemilikan silang di Telkomsel dan Indosat, makakemungkinan besar
Temasek membawa kasus tersebut ke arbitrase internasional, Temasek membeli
Indosat, perusahaan asal Singapura tersebut sudah mempersiapkan segalanya,
termasuk semua perjanjian agar investasinya di Indonesia aman.
Oleh
sebab itu, katanya, jika perusahaan tersebut dianggap melakukan kepemilikan
silang maka tentu akan membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional.
Jika Indonesia dikalahkan di arbitrase internasional maka Indonesia bisa dikenakan denda
yang sangat besar, KPPU menduga adanya pelanggaran yang dilakukan
Temasek terhadap Pasal 27 UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni terkait adanya kepemilikan
silang (cross ownership) yang dilakukan Temasek di Telkomsel dan PT.Indosat Tbk.
Temasek
dilaporkan melalui dua anak perusahaannya yakni Singapore Telecommunications
Ltd (SingTel)
dan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. (STT) memiliki
saham di dua perusahaan telekomunikasi di Indonesia itu. Namun beberapa
pihak mengatakan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Bila nantinya
Temasek terbukti melakukan kepemilikan silang dan melanggar UU nomor 5
tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka adatiga sanksi
yang bisa diberikan yaitu pertama menghentikan perilaku
kartel/anti persaingan dengan melepas salah satu kepemilikannya di Indosat
atau Telkomsel,kedua dikenakan denda berkisar Rp1 Miliar sampai Rp25 Miliar dan
ketiga pembayaran ganti rugi kepada negara.
Kepemilikan
silang Temasek Holding pada Indosat dan Telkomsel diduga membuat dua
operator ponsel di Indonesia itu masih memberikan tarif tinggi dibandingkan
dengan operator lain, yang membawa dampak merugikan bagi konsumen.
Diberitakan, kesimpulan Tim Pemeriksa Lanjutan KPPU terhadap kasus tersebut tidak
bulat karena salah satu anggotanya Benny Pasaribu mempunyai pandangan yang
berbeda dengan empat anggota lainnya.
Benny
selanjutnya tidak masuk dalam Majelis Komisi untuk mengatakan haltersebut bisa
menimbulkan pertanyaan. Ini merupakan hal yang biasa jika seseorang mempunyai
pendapat yang berbeda.
Sementara
itu Senior Vice President Internasional Operation STT, Jaffa Sany, pernah
mengatakan bahwa STT akan melakukan upaya banding apabila KPPU menyatakan STT
terbukti mempunyai kepemilikan silang.
Jaffa
mengatakan banding tersebut dilakukan sebagai bentuk pembelaan diri hak STT terhadap
saham yang dimilikinya di Indosat. "Pembelaan itu akan dilakukan secara bertahap
nantinya, Ini
apabila memang STT dinyatakan bersalah oleh KPPU," kata Jaffa.
Sedangkan
Senior Vice President Strategic Relations Corporate Communications
STT, Kuan Kwee Jee mengatakan Temasek Holding, STT dan SingTel
merupakan perusahaan yang berbeda terbukti dari Dewan Direksi yang terpisah, tidak
adanya manajemen sentral dari induk perusahaan dan tidak ada rencan akegiatan
ekonomi sentral.
"Sehingga kami tidak melanggar Undang-undang Persaingan Usaha
(dalam kepemlikan saham di Telkomsel dan Indosat)," kata KweeJee.
Kwee
Jee mengatakan saham Telkomsel dimiliki oleh Telkom sebanyak 65 persen
sehingga Telkom mengontrol Telkomsel, sementara Temasek tidak bisa mengontrol
Telkomsel. Sementara
pada Indosat, kata Kwee Jee, 40 persen sahamnya dimiliki oleh
STT bersama dengan Qatar Telecom, dan 14 persen sahamnya lainnya dimiliki oleh
pemerintah Indonesia dan Golder share, serta 46 persen saham sisanya merupakan saham
bebas.
Setelah
vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada Temasek dan
Telkomsel, kini perkara Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun1999 Yang
Berkaitan Dengan Kepemilikan Silang Yang Dilakukan Oleh Temasek dan
Praktek Monopoli Telkomsel kini sedang diuji di tingkat banding keberatan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Jakarta Selatan.
Pemeriksaan
perkara ini akan sedikit rumit. Karena pihak Telkomsel mendaftarkan
keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sementara pihak Temasek Cs
mendaftarkan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka sesuai dengan Pasal 4
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005, Mahkamah Agung akan
menunjuk salah satu Pengadilan Negeri tersebut untuk memeriksa keberatan
Temasek maupun Telkomsel.
Sejak
awal perkara dugaan monopoli Temasek dan Telkomsel sudah
menarik perhatian. Banyak investor bersikap wait and see terhadap perkara
ini. Mereka menunggu
apakah hukum benar-benar bisa ditegakkan dalam perkara ini.
Keberadaan
UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat diIndonesia adalah hal yang wajar dan berlaku
pula di banyak Negara lain, namun penerapan hukum anti monopoli dan anti
persaingan usaha tidak sehat oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam
perkara ini masih cukup membingungkan. Sulit untuk dimengerti bagaimana KPPU baru
memutuskan perkara ini setelah lebih satu tahun sejak perkara ini dilaporkan pada
tanggal 18 Oktober 2006. Padahal jika dihitung berdasarkan Pasal-pasal
dalam UU No 5 Tahun 1999, jangka waktuKPPU untuk membuat keputusan tak lebih
dari 160 hari. Pembatasan waktu 160 hari oleh Undang-undang ini bertujuan
menjaga adanya kepastian hukum dan tidak dipergunakannya hukum tanpa due
process of law.
2.2.2 Kasus Arbitrase Internasional
Kasus Gresik-Cemex ke Arbitrase Internasional
Dalam
klausul perjanjian antara Cemex dan Semen Gresik memang disebutkan jika
terjadi permasalahan, maka akan membawa ke arbitrase internasional. Namun,
ada baiknya Semen Gresik maupun Semen Padang melihat permasalahan iniuntuk
kepentingan yang lebih besar lagi. Bapepam saat ini tengah
menunggu penjelasan dari manajemen Semen Gresik atas kasus ini. Tapi,
hingga kini penjelasan itu belum ada.
"Urusan
antar pemegang saham biasanya tidak akan mengganggu kinerja emiten yang
bersangkutan. Biasanya Dispute antar pemegang saham mestinya
tidak mengganggu kinerja," ungkapnya. Mengenai laporan keuangan Semen
Gresik, dapat diselesaikan
tepat waktu seperti yang sudah diputuskan.
Seperti
diberitakan, kasus Cemex-Semen Gresik muncul akibat berlarut-larutnya
penyelesaian laporan keuangan Semen Gresik karena belum selesainya laporan
keuangan Semen Padang. Cemex sebelum mengajukan kasus ini ke arbitrase telah menawarkan
sejumlah alternatif penyelesaian. Diantaranya Cemex akanmembeli saham
pemerintah di Semen Gresik hingga menjadi mayoritas, atau sebaliknya
pemerintah membeli saham Cemex di Semen Gresik.
Menteri
Negara BUMN saat itu
Laksamana Sukardi, di tempat yang sama mengatakan pemerintah saat ini
tidak memiliki dana untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan
Cemex di Semen Gresik sebesar 400 juta dolar AS hingga 500 juta dolar AS.
Kita tidak punya dana
dan juga APBN kita kan defisit, itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Untuk mengatasi permasalahan di Semen Gresik,
kemungkinan pemerintah akan menjual saham milik Cemex kepada pihak ketiga.
Ia optimis
industri semen masih memiliki prospek sangat baik. Namun, hal itu tergantung
pembangunan fisik di Indonesia. "Kalau tumbuh terus pembangunan fisiknya,
infrastruktur dan konstruksi, saya kira permintaan terhadap perusahaan semen sangat
baik. Tidak semata-mata pemerintah yang harus beli. Pemerintah bisa menjembatani
pada pihak ketiga."
Namun
ketika disinggung pihak mana yang sudah menyatakan minatnya untuk membeli
saham milik Cemex, dia mengaku belum bisa menyebutkan dengan alasan masih rahasia.
Soalnya, saat ini masih terus melakukan pembicaraan dengan Cemex untuk mencari
solusi terbaik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
beberapa uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Kata “arbitrase”
berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”. Arbitrase juga dikenal dengan
sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda),
arbitration (Inggris), arbitrage atauschiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis)
yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut
kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikena ldengan
“perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap
putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi
sengketa tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Secara harfiah,
perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara
terminologi dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saatini walaupun pada
akhirnya mempunyai inti makna yang sama.
Arbitrase
diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de
Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase
ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of derechtvordering.
Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak digunakan lagi dengan
diundangkannya Undang Undang Nomor 30 tahun 1999.
Keunggulan
Arbitrase Putusan
peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahu itentang
kelemahan-kelemahan perusahaan
yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.
Kelemahan
Arbitrase, Arbitrase
belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat
bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih
banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah darilembaga-lembaga seperti
BANI, BASYARNAS dan P3BI.
3.2 Saran
Lembaga
arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase
tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati
putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU
Arbitrase antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam
hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 ayat (3) ) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasiona lmaupun internasional yang
harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran
putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase
internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan seharusnya
lembaga arbitrase sudah dapat berdiri sendiri, demi menjunjung keIndependenan
lembaga ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Ricky W.Griffin dan Ronald J. Ebert (2005).Bisnis edisi
Ketujuh Jilid 1
. Indeks,Jakarta
Internet:
http://www.scribd.com
http://www.wikipedia.com
makasih atas referensi nya sobat .. :)
BalasHapustitanium arts
BalasHapusTATONIC ART CUSTOMING septcasino · TATONIC ROCKING T-TATONIC ROCKING T-TATONIC ROCKING T-TATONIC. bsjeon This https://deccasino.com/review/merit-casino/ unique and original design is filmfileeurope.com crafted with the ford escape titanium use of sustainable